Rabu, 29 Februari 2012

keislaman

Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Dan dipelihara serta disampaikan dengan indah , dimana kemu’jizatan Al Qur’an yang mulia sebagai pedoman dalam menjalani berbagai aspek kehidupan manusia, Agama islam datang dengan kepercayaan tauhid dalam Dzatnya serta tidak ada sesembahan selain-Nya. Maka dari, dalam materi keislaman ini akan dibahas tentang aqidah, tauhid dan rukun iman dalam realisasi kalimat syahadat.
A. AQIDAH
I. Pengertian Aqidah
Secara etimologis, aqidah berakar dari kata ‘aqada-ya’qidu-‘aqdan-‘aqidatan.’Aqdan memiliki beberapa makna diantaranya adalah simpul, kokoh, ikatan, dan perjanjian. Setelah kata ‘aqdan terbentuk menjadi ‘aqidah maka berarti keyakinan. Kaitan arti kata ‘qdan dan ‘aqidah adalah keyakian itu tersimpul dengan kokoh di dalam hati, bersifat mengikat dan mengadung perjanjian. Jadi ‘aqidah adalah sesuatu yang diyakini seseorang. Makna ‘aqidah secara bahasa lebih jelas jika dikaitkan dengan pengertian secara terminologis atau istilah.
Secara terminologis terdapat beberapa definisi ‘aqidah , diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Menurut Hasan Al-Banna
‘Aqaid (bentuk plural dari aqidah)adalah beberapa perkara yang wajib diyakini oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikitpun denan keragu-raguan.
2. Menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairy
‘Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum oleh manusia berdasarkan akal, wahyu , dan fitrah. Kebenaran itu diyakini manusia dalam hati serta diyakini keshahihannya dan keberadaannya secara pasti dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu.
Dari kedua definisi tersebut dapat dijelaskan point-point penting berikut ini :
a. Sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum oleh manusia.
Ilmu kebenaran dibagi menjadi dua yaitu ilmu dharury dan ilmu nadzary. Ilmu yang dihasilkan oleh panca indera dan tidak memerlukan dalil disebut ilmu dharury. Sedangkan ilmu yang memerlukan dalil atau pembuktian disebut ilmu nadzary.
b. Setiap manusia memiliki fitrah untuk mengakui kebenaran.
Indera untuk mencari kebenaran, akal untuk menguji kebenaran, dan wahyu untuk menjadi pedoman dalam menentukan mana yang benar dan mana yang tidak.
c. Keyakinan tidak boleh bercampur sedikitpun dengan keraguan.
d. Aqidah harus mendatangkan ketentraman jiwa.
Artinya sesuatu keyakinan yang belum dapat menentramkan jiwa berarti bukanlah aqidah.
e. Menolak segala sesuatu yang berlawanan dengan kebenaran itu.
Bila seseorang sudah meyakini suatu kebenaran, dia harus menolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu. Artinya seseorang tidak akan bisa meyakini sekaligus dua hal yang bertentangan.
f. Tingkat keyakinan seseorang tergantung kepada tingkat pemahamannya dengan dalil.
II. Istilah Lain Tentang Aqidah
Ada istilah lain yang semakna atau hampir semakna dengan istilah aqidah, yaitu iman dan tauhid.
• Iman
Ada yang menyamakan istilah iman dengan aqidah dan ada yang membedakannya. Bagi yang membedakannya beralasan bahwa aqidah hanyalah bagian dalam aspek hati dari iman, sebab iman menyangkut aspek dalam dan luar. Aspek dalam berupa keyakinan dan aspel luar berupa pengakuan lisan dan pembuktian amal. Permasalahannya tergantung dari definisi iman. Kalau kita mengikuti definisi iman menurut para ulama salaf (seperti imam Ahamad, Malik dan Syafi’i) adalah sebagai berikut (Iman adalah sesuatu yang diyakini di dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan).
• Tauhid
Tauhid artinya mengesakan Allah. Ajaran yauhid adalah tema sentral aqidah islam. Oleh karenanya, aqidah dan iman dididentikkan juga dengan istilah tauhid.
III. Ruang Lingkup Aqidah
Menurut Hasan Al-Banna ruang lingkup pemabahasan aqidah Islam meliputi :
a) Ilahiyyat
Yaitu pemabahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan ILLAH (Tuhan Allah), seperti wujud Allah, nama dan sifat-saifat Allah, perbuatan Allah dan sebagainya.
b) Nubuwwat
Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan nabi dan rosul, serta termasuk pembahasannya tentang kitab-kitab Allah yang dibawa para Rasul, mu’jizat Rasul dan lain sebagainya.
c) Ruhaniyyat
Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik, seperti malaikat, jin, syaithon, roh, dan lain sebagainya.
d) Sam’iyyat
Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat sam’i ( dalil naqli berupa Al-Qur’an dan As-Sunnah ), seperti alam barzah, akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat, surga, neraka, dan lain sebagainya.
Sebagaian ulama berpendapat bahwa pembahasan pokok aqidah Islam harus terumus dalam rukun iman yang enam. Yaitu iman kepada Allah, kepada Malaikat-Nya, kepada nabi dan rasul-Nya, kepada kitab-kitab-Nya, kepada akhir dan iman kepada qada dan qadar.
Sistematika Arkanul Iman:
1. Iman kepada Allah
2. Iman Kepada Malaikat
3. Iman kepada Kitab-kitab Allah
4. Iman kepada Nabi dan Rasul
5. Iman Kepada Hari Akhir
6. Iman kepada Taqdir Allah
IV. Sumber Aqidah
Sumber aqidah Islam adalah Al-Qur’an dan As-Sunah. Artinya inmformasi apa saja yang wajib diyakini (diimani dan diamalkan) hanya diperoleh melalui Al Qur’an dan As-sunah. Karena dari keduanya akan memberikan penjelasan kepada manusia tentang segala sesuatu. Sumber aqidah Islam adalah Al-Quran dan As-Sunah, artinya apa saja yang disampaikan oleh Allah dan rasulnya wajib di imani dan diyakini atau diamalkan, akal pikiran tidaklah jadi sumber akidah, tetapi hanya berfungsi memahami nash-nash yang terdapat dalam kedua sumber tersebut. dan akal tidak mampu juga menjangkau suatu yang tidak terikat dengan ruang dan waktu,tetapi akal hanya perlu membuktikan jujur atau bisakah kejujuran sipembawa berita tersebut di buktikan secara ilmiah oleh akal dan pikiran itu aja. Sedangkan akal fikiran bukanlah merupakan sumber Aqidah.
Allah telah berfirman (”...dan kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) sebagai penjelas atas segala sesuatu petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (an-Nahl,16:89).
Sedangkan akal pikiran bukanlah merupakan sumber aqidah, ia hanya berfungsi untuk memahami nash-nash yang terdapat dalam kedua sumber tersebut dan mencoba membuktikan secara ilmiah kebenaran yang disampaikan oleh Al Qur’an dan sunnah. Itupun harus didasari oleh sesuatu kesadaran bahwa kemampuan akal manusia sangat terbatas.
Informasi mengenai pencipta alam ini dan seisinya adalah dalil Allah yang hanya bisa diketahui melalui Al Qur’an dan Sunnah. Manusia akalnya semata tidak dapat mengetahui siapa yang menciptakan alam. Akal manusia hanya dapat memikirkan keteraturan dan keseimbangan.
Orang yang beriman wajib meyakini hal-hal yang ghaib, lalu dari mana kita mengetahui masalah ghoib itu ? AlQur’an dan Sunnah yang bisa menginformasikan hal itu, sedangkan akal manusia tidak mampu menjangkau masalah-masalah ghoib, akal juga tidak boleh dipaksa untuk memahami hal-hal ghaib serta tidak diminyai menjawab segala pertanyaan tentang hal-hal yang ghaib.
V. Tingkatan Aqidah
Tingkatan aqidah seseorang berbeda-beda, yaitu :
 Tingkat Taqlid
Berarti menerima suatu kepercayaan dari orang lain tanpa diketahui alasan-alasannya. (Q.S. Al Isra’ :36)
 Tingkat ‘ilmu al-yaqin
Maksudnya suatu keyakinan yang diperoleh berdasarkan ilmu yang bersifat teoritis. (QS. At Takatsur :1-5)
 Tingkat ‘Ain al-yaqin
Maksudnya suatu keyakinan yang diperoleh melalui pengamatan mata kepala secara langsung tanpa perantara.(QS. At Takatsur :6-7)
 Tingkat Haqq al-yaqin
Maksudnya suatu keyakinan yang diperoleh melalui pengamatan dan penghayatan pengalaman.( QS. Al Waqi’ah : 88-96)


B. TAUHID
I. Pengertian Tauhid
Tauhid berasal dari kata wahada-yuwahhidu-tawhidan yang artinya secara harfiahnya menyatukan, mengesakan atau mengakui bahwa sesuatu itu satu. Yang dimaksud dengan makna harfiyah diatas adalah mengesakan atau mengakui dan meyakini akan keesaan Allah SWT.
Lawan dari tauhid yaitu syirik. Yakni menyekutukan atau membuat sesembahan selain Allah. Dengan demikian, tauhid adalah mengakui dan meyakini keesaan Allah, dengan membersihkan keyakinan dan pengakuan tersebut dari segala kemusyrikan. Sehingga bisa dikatakan bahwa tauhid adalah esensi aqidah dan iman dalam islam. Tauhid merupakan landasan utama dan pertama keyakinan Islam dan implementasi ajarn-ajarannya. Tanpa tauhid tidak ada iman, tidak ada aqidah dan tidak ada islam dalam arti yang sebenarnya.
II. Kedudukan dan Fungsi Tauhid
Tauhid mempunyai kedudukan dan fungsi sentral dalam kehidupan muslim. Bagi seorang muslim tauhid menjadi dasar dalam aqidah, syari’at dan akhlaq. Sebagai dasar dalam aqidah maksudnya seorang muslim harus percaya bahwa Allah Yang Maha Esa telah menciptakan dan menghendaki semua yang terjadi di alam ini. Allah lah yang menciptakan dan menghendaki semua yang terjadi dialam ini. Sebagai dasar dalam syari’at maksudnya setiap orang muslim dalam menjalankan syari’at Allah (ibadah dan mu’amalah) harus dilakukan dengan niat ikhlas tanpa riya’. Dan sebagai dasar dalam akhlaq maksudnya setiap orang muslim dalam berakhlaq, hendaknya berdasarkan pada Allah semata.
III. Kalimat Tauhid “Laa ilaha illa Allah”
Dari kaliamat tauhid tersebut ada dua prinsip yang harus dipegang oleg seorang mukmin atau muwahhid, sebagai rukun kalimat tauhid yakni adnya prinsip Al nafyu dan prinsip Al itsbat.
 Prinsip Al Nafyu dan Al Itsbat
Al Nafyu artinya peniadaan, yaitu penegasan tentang tidak adanya sesembahan yang haq selain Allah. Dengan Prinsip ini seorang muwahhid wajib membatalkan segala bentuk syirik dan wajib mengingkari segala praktek berketuhahan selain kepada Allah SWT.
Al Itsbat artinya Penetapan, yakni menegaskan bahwa hanya Allahlah satu-satunya sesembahan yang hak. Dengan prinsip ini seorang muwwahid wajib mengamalkan segala hal yang menjadi konsekwensi dari tauhid tersebut.
 Syarat-Syarat Kalimat Tauhid “Laa ilaha illa Allah”
Wahab bin Munabbih rahimahullah berkata kepada orang yang bertanya kepadanya: “Bukankah La Ilaha Illallah kunci surga?” Ia menjawab: “Betul. Tetapi, tiada satu kunci-pun kecuali ia memiliki gigi-gigi, jika kamu membawa kunci yang memiliki gigi-gigi, pasti engkau dapat membuka pintu, namun jika engkau membawa kunci yang tidak ada gigi-giginya pasti pintu itu tak akan terbuka.” (HR. Bukhari dalam ta’liq).
Dan gigi-gigi kunci La Ilaha Illallah adalah syarat La Ilaha Illallah. Yaitu sebagai berikut:
1. Ilmu meniadakan kejahilan.
Barangsiapa yang tidak mengetahui makna-nya maka ia tidak akan mengetahui petunjuk/tuntutannya. Maknanya adalah berlepas diri dari semua yang diibadahi selain Allah dan mengikhlaskan peribadatan hanya untuk Allah. Maksud La Ilaha adalah meniadakan segala yang diibadahai selain Allah. Maksud Illallah adalah menetapkan ibadah hanya untuk Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya dalam masalah ibadah sebagaimana tiada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan-Nya.
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.” (QS. Muhammad: 19)
Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam :
عَنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ (رواه مسلم)
“Barangsiapa yang meninggal sedangkan dia mengetahui makna La Ilaha Illallah pasti masuk surga.” (HR. Muslim)
2. Yakin meniadakan keraguan.
Karena ada sebagian orang yang mengucapkannya dalam keadaan ragu terhadap makna yang ditunjukkannya.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujurat: 15)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan aku adalah utusan Allah, tiada-lah seorang hamba bertemu Allah (meninggal dunia) dengan membawa keduanya tanpa ada keraguan sedikitpun pasti ia akan masuk surga.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Dari Abu Hurairah rahimahullah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya: “Barangsiapa yang engkau temui di balik dinding ini, sedangkan dia bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah didasari dengan hati yang yakin maka berilah kabar gembira akan masuk surga.” (HR. Muslim)
3. Ikhlas meniadakan kesyirikan.
Karena barangsiapa yang tidak mengikhlaskan seluruh amalannya untuk Allah ia telah melakukan kesyirikan yang meniadakan rasa ikhlas. Allah Ta’ala berfriman:
قُلْ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللَّهَ مُخْلِصاً لَّهُ الدِّينَ
“Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.” (QS. Az-Zumar: 11)
Dari Abu Hurairah rahimahullah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي مَنْ قَالَ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ / أَوْ نَفْسِهِ
“Orang yang paling bahagia mendapatkan syafa’atku (pada hari kiamat) adalah orang yang mengucapkan La Ilaha Ilallah murni dari hatinya (jiwanya).” (HR. Bukhari)

Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: “Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka atas orang yang mengucapkan La Ilaha Illallah dengan hanya mengharap wajah Allah Ta’ala.” (HR. Muslim dari Utban bin Malik)
4. Sidq (kejujuran) meniadakan kemunafikan.
Karena orang munafik juga mengucapkannya, akan tetapi perkataannya tidak sesuai dengan apa yang ada di dalam hatinya, maka ia telah berbuat dusta, karena batinnya tidak sesuai dengan dzahirnya. Sebagaimana yang telah Allah kabarkan tentang sifat mereka. Allah Ta’ala berfirman:
يَقُولُونَ بِأَلْسِنَتِهِم مَّا لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ
“Mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya.” (QS. Al-Fath: 11)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Tiada seorang-pun yang bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya jujur dari hatinya kecuali Allah akan mengharamkan neraka atasnya.” (HR. Bukhari)
5. Qabul (penerimaan) yang meniadakan sifat menolak.
Karena ada sebagian manusia yang mengucapkannya dengan mengetahui maknanya tapi ia tidak menerima seruan orang yang mengajaknya. Hal ini bisa disebabkan karena kesombongan, dengki atau sebab-sebab yang lain.
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُون وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَّجْنُونٍ
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: "Laa Ilaaha Illallah" (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata: "Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami Karena seorang penyair gila?" (QS. Ash-Shaffat: 35-36)
6. Inqiyad (ketundukan) yang meniadakan perilaku meninggalkan amal yang dituntutnya.
Syarat ini akan menumbuhkan sikap melaksanakan perintah-perintah Allah, meninggalkan larangan-larangan-Nya dan komitmen dengannya. Hakikat Islam adalah tunduknya hati dan badan seorang hamba kepada Allah dan tunduk kepada-Nya dengan tauhid dan ketaatan. Allah berfirman:
وَمَن يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى وَإِلَى اللَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ
“Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.” (QS. Luqman: 22)
Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam; “Tiada beriman salah seorang kalian sehingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” (HR. al Baihaqi; an Nawawi berkata: "hadits shahih, kami riwayatkan dalam kitab Al Hujjah dengan sanad shahih)
7. Mahabbah (kecintaan) yang meniadakan kebalikannya.
Tidak mungkin seorang hamba akan mengetahui dan menerimanya kecuali didasari rasa cinta, sebagaimana rasa ikhlas yang akan meniadakan kesyirikan. Barangsiapa mencintai Allah ia akan mencintai agama-Nya, barangsiapa yang tidak mencintainya maka jangan diharap ia akan mencintai agama-Nya.
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللّهِ أَندَاداً يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللّهِ وَالَّذِينَ آمَنُواْ أَشَدُّ حُبّاً لِّلّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُواْ إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلّهِ جَمِيعاً وَأَنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (QS. Al-Baqarah : 165)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah Lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Maidah : 54)