Kamis, 07 Juni 2012

Hasil Reproduksi Penelitian

Membaca Komphrehensif
 Oleh: 
Umamah Khoirunnisaa' A 310110161  



1. TEKS ASLI PENELITIAN



TUTURAN PENGEKSPRESI PRINSIP KESOPANAN
DALAM BAHASA JAWA

Drs. Wiwin Erni Siti Nurlina, Peneliti pada Balai Pustaka Yogjakarta
Jurnal Widyaparwa, Vol. 32, No. 1, Juni 2004: 89-106

Abstract
An oral utterance always involves speaker, receiver, and speaking material. Utterances are built into a discourse. The discussion of the discourse using pragmatic approach has various aspects. This paper discusses Javanese language discourse dealing with context . The relationship between the discourse and its context can be divided into several aspect, like the relationship between discourse and speaker, discourse with content of utterance, discourse with speaking material, discourse and receiver. The relationship between discourse and the speaker are dealing with the principle of discourse productivity, one of them is politeness principle. The main problem in this review is the implementation of politeness principle in Javanese language utterances.

Keyword : Discourse Analysis, pragmatic, utterance context, politeness principle.




Hasil Reproduksi Penelitian Ilmiah


TUTURAN PENGEKSPRESI PRINSIP KESOPANAN
DALAM BAHASA JAWA

Drs. Wiwin Erni Siti Nurlina, Peneliti pada Balai Pustaka Yogjakarta
Jurnal Widyaparwa, Vol. 32, No. 1, Juni 2004: 89-106

Abstract


Sebuah ucapan lisan selalu melibatkan pembicara, penerima, dan bahan berbahasa. Ucapan-ucapan dibangun menjadi wacana. Pembahasan wacana tersebut menggunakan pendekatan pragmatis yang memiliki berbagai aspek. Tujuan kajian penerapan prinsip kesopanan dalam tuturan Bahasa Jawa ini yaitu dengan adanya gejala kebahasaan dalam Bahasa Jawa yang beraneka ragam wujudnya, kajian ini diperlukan untuk digunakan sebagai salah satu cara memahami fungsi bahasa sebagai bagian yang tidak dapat terpisahkan dari budaya masyarakat pemilikinya khususnya dalam setiap kesopanan.
Metode yang digunakan dalam kajian itu yaitu dengan menggunakan prinsip kesopanan yang dipatuhi dalam peristiwa tutur. Ada enam maksim prinsip kesopanan yang dapat diekspresikan oleh beberapa bentuk ujaran. Bentuk-bentuk ujaran pengekspresi maksim-maksim dalam prinsip kesopanan yaitu ujaran impositif, ujaran komisif , ekspertif, dan ujaran asertif.
Hasil dari kajian ini dapat dirumuskan bahwa dalam ujaran itu tidak lepas dengan adanya konteks yang ada dan ujaran-ujaran tersebut dibentuk menjadi sebuah wacana. Diantara wacana dan konteksnya dapat dibagi menjadi beberapa aspek, seperti hubungan antara wacana dan speaker, wacana dengan isi ucapan, wacana dengan berbicara bahan, wacana dan penerima. hubungan antara wacana dan pembicara berurusan dengan prinsip produktivitas wacana, salah satunya adalah prinsip kesopanan. Masalah utama dalam kajian ini adalah penerapan prinsip kesopanan dalam tuturan bahasa Jawa.


2. TEKS ASLI PENELITIAN



LATAR BELAKANG PENUTUR SEBAGAI FAKTOR PENENTU BENTUK WACANA DIREKTIF DALAM BAHASA JAWA 
Widada, Peneliti pada Balai Pustaka Yogjakarta
Jurnal Widyaparwa, Makalah ini telah disajikan dalam Diskusi Kebahasaan dan Kesastraan di Balai Pustaka Yogyakarta, tanggal 22 September 1999



Abstrak


Masyarakat Jawa termasuk masyarakat yang mengutamakan perasaan dalam berkomunikasi. Segala tutur kata (berbahasa) dan tingkah lakunya selalu diusahakan jangan sampai menyinggung perasaan orang lain. Semuanya itu dilakukan dalam rangka memelihara suatu pernyataan sosial yang harmonis dan jauh dari konflik. Kerangka berpikir semacam itu diterapkan dalam menyatakan wacana direktif yang berisi agar orang lain mau melakukan sesuatu tindakan seperti yang dikehendaki penutur. Wujud wacana direktif dalam bahasa Jawa yang berupa wacana perintah, larangan, permintaan, bujukan, dan tantangan itu banyak ditentukan oleh faktor latar belakang peserta tutur, seperti watak, usia, emosi, status sosial, kemampuan berbahasa, dan aspirasi.




HASIL REPRODUKSI PENELITIAN



LATAR BELAKANG PENUTUR SEBAGAI FAKTOR PENENTU BENTUK WACANA DIREKTIF DALAM BAHASA JAWA 
Widada, Peneliti pada Balai Pustaka Yogjakarta
Jurnal Widyaparwa, Makalah ini telah disajikan dalam Diskusi Kebahasaan dan Kesastraan di Balai Pustaka Yogyakarta, tanggal 22 September 1999


Abstrak


Masyarakat pada umumnya termasuk golongan masyarakat yang mengutamakan rasa, perasaan, dalam berkomunikasi. Demikian pula dalam bertindak tanduk dan bertingkah laku lainnya selalu dipikirkan terlebih dahulu apakah tutur kata dan tingkah lakunya tersebut menyingging perasaan orang lain atau tidak. Tujuan dari semua itu dillakukan bertujuan untuk memelihara pernyataan sosial yang harmonis dengan memperkecil adanya konflik sosial dan pribadi secara terbuka dalam bentuk apapun serta agar tercapainya keseimbangan yang harmonis dalam berkomunikasi.
Keharmonisan dalam berkomunikasi itu memang sangat diutamakan dalam berkomunikasi karena hal itu akan menentukan tujuan atau harapan nyang diperoleh dari komunikasi tersebut. Lalu metode yang digunakan dalam komunikasi tersebut berupa komunikasi direktif. Bentuk komunikasi direktif atau wacana direktif ini merupakan sebuah tuturan atau ujaran yang berisi agar orang lain mau melakukan tindakan yang sesuai dengan yang dikehendaki penutur. Agar komunikasinya berhasil maka penutur harus menggunakan bentuk-bentuk komunikasi atau wacana sebagai sarana komunikasi yang memenuhi persyaratan tertentu seperti unsur komponen tutur diantaranya mitra bicara, topik pembicaraan, suasana, tempat, dan siapa penuturnya.
    Hasil penelitian yang dapat dirumuskan yaitu bahwa wacana direktif dalam bahasa Jawa itu ditentukan oleh latar belakang kehidupan si peserta tutur. Adapun latar belakang peserta tutur itu meliputi diantaranya yaitu watak, warna emosi, aspirasi, kemapuan berbahasa, dan usia peserta tutur selain itu juga terdapat unsur komponen tutur.